SURAKARTA – Kegiatan Hari Raya Imlek yang rutin diselenggarakan di Kota Solo tentu bukan kebetulan semata. Perayaan yang diadakan untuk memperingati tahun baru China ini memiliki latar belakang yang menarik untuk dibahas. Keberadaan lampion maupun perayaan di Solo bukan tanpa kesejarahan. Kegiatan tersebut sudah ratusan tahun diperingati.

Perayaan yang identik dengan lampion tersebut merupakan kebudayaan China yang telah mengakar kuat sehingga selalu dirayakan tak terkecuali di Kota Bengawan. Tak jauh dari perayaan Imlek biasanya diikuti dengan adanya tempat tinggal etnis Tionghoa (Pecinan). Selama ini, Imlek digelar di kawasan Pasar Gede yang menjadi pusat perayaan Imlek dengan hiasan lampion yang ternyata sudah ada sejak akhir abad-19.

Selain itu, Pasar Gede juga telah menjadi pusat perekonomian serta sebagai salah satu tempat bertemunya berbagai budaya. Kawasan yang termasuk dalam kelurahan Sudiroprajan tersebut dikenal dengan kampung Balong. Mayoritas warga yang menempati tempat tersebut kebetulan etnis Tionghoa, Pasar Gede juga menjadi sumber bagi mereka untuk mengais rezeki yang masih nampak hingga kini. Tak heran ketika Pasar Gede dibangun ulang karena kebakaran, masyarakat meminta agar desain tidak berubah alias dibangun sama persis dengan Pasar Gede yang selama ini sudah sangat ikonik itu.

Arti lampion yang selalu melengkapi perayaan Imlek diyakini oleh etnis Tionghoa sebagai simbol hati yang berbahagia, sedangkan nyala lampu yang ada di dalam lampion dimaknai sebagai simbol pengharapan, keberuntungan, dan rezeki yang melimpah. Hampir tiap tiba masa perayaan Imlek, kawasan Pasar Gede tidak pernah sepi dari masyarakat. Berbagai acara digelar dan juga lampu lampion menghiasi sepanjang jalan. Warna merah lampion itu hampir sama diseluruh dunia karena memang melambangkan kemakmuran dalam budaya Cina.