SURAKARTA – Tidak banyak yang tahu bahwa nama Sala sebenarnya nama pohon yang banyak tumbuh di tepian sungai tak jauh dari Keraton Kartasura sebagai pusat pemerintahan kerajaan Mataram. Suatu ketika terjadi pemberontakan etnis Tionghoa yang lebih dikenal dengan nama geger pecinan yang dipimpin Sunan Kuning. Akibat dari pemberontakan itu, akhirnya pusat kerajaan Mataram pindah ke Desa Sala.
Awal mula Geger Pecinan dipicu pembantaian besar-besaran etnis Tionghoa oleh Belanda di Batavia pada 1712. Kabar pembantaian itu menyebar terdengar hingga ke Kartasura. Hal inilah yang kemudian mendorong pemberontakan bersama yakni etnis Jawa dan etnis Tionghoa melawan para penjajah di Tahun 1740. Mereka dipimpin para panglima yaitu Kapitan Cina Sepanjang, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa kemudian menjadi KGPAA Mangkunegara I.
Desa Sala menjadi pusat pemerintahan baru sebab menurut penilaian dianggap memiliki lokasi paling strategis. Ditambah di Desa Sala juga terdapat Sungai Bengawan Solo yang merupakan pusat perdagangan maupun menjadi andalan sarana transportasi. pemerintahan Mataram sendiri kemudian merubah nama menjadi Keraton Surakarta.
Hingga saat ini kita masih mudah menemukan berbagai jejak dari Pecinan itu. Bukan sekedar bangunan, keraton, kesenian, budaya bahkan hingga makanan yang diciptakan etnis Tionghoa juga mudah kita dapati di Solo. Sebut saja timlo, cincau (janggelan), ampyang dan lain sebagainya. Maka dari itu, perayaan Imlek cukup meriah diperingati di Solo karena kesejarahan yang cukup kuat bagi masyarakat. Seakan-akan mereka memiliki ikatan batin pada momentum Imlek.