Tembang macapat atau yang dalam bahasa Jawa disebut dengan sekar macapat merupakan karya sastra Jawa berbentuk lagu, atau puisi tradisional Jawa yang cara membacanya dengan dilagukan. 

Tembang macapat diperkirakan muncul pada abad XIV Masehi, tepatnya di akhir masa kepemimpinan kerajaan Majapahit. Dalam perkembangannya, tembang macapat kembali digunakan dan dipopulerkan oleh Walisongo dalam rangka penyebaran agama Islam di wilayah Jawa. 

Setelah dipopulerkan oleh Walisongo itulah sampai sekarang tembang Macapat terus dimanfaatkan untuk kehidupan sosial masyarakat Jawa, misalnya untuk pagelaran dan hiburan, untuk kesenian dan estetika, keperluan pendidikan, sarana surat-menyurat, mantra penolak bala, upacara-upacara adat Jawa, sampai dengan menjelaskan filosofi siklus kehidupan.

Tembang Macapat digunakan untuk menjelaskan filosofi kehidupan, karena dalam tembang macapat itu sendiri terdapat 11 pakem atau macam, yang kesemuanya menggambarkan siklus kehidupan manusia mulai pakem Maskumambang yang menceritakan perjalanan dari roh, dan janin dalam rahim ibu, sampai dengan pakem Pucung yang menceritakan kisah hidup manusia setelah meninggal, dan jasadnya dibungkus kain mori putih saat dikuburkan di tempat peristirahatan abadi. 

Tembang macapat merupakan karya sastra yang adi luhung dan memiliki banyak nilai kehidupan, namun di zaman modern ini eksistensinya semakin kabur dan hampir punah, seiring dengan banyaknya anak muda yang lebih menggemari musik-musik modern seperti lagu barat atau lagu KPOP. Karena itulah diperlukan kerjasama dari seluruh lapisan masyarakat, mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah, hingga pemerintah untuk bekerjasama nguri-uri tembang Macapat, agar nilai-nilai yang ada di dalamnya bisa diturunkan dan lestari hingga generasi-generasi selanjutnya.