
Perjalanan pers di Indonesia tidak lepas dari berdirinya Gedung Societeit Sasana Soeka yang dibangun pada 1918 dengan usulan Mangkunegaran VII. Gedung ini memiliki sejarah yang panjang, dimana pada awalnya gedung ini dibangun untuk keperluan keluarga Mangkunegara dan masyarakat untuk melakukan kegiatan yang bersifat hiburan. Terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan di Gedung Societeit Sasana Soeka, meliputi berkumpul, bermain billiard, dansa, dan pesta.
Pada masa penjajahan Belanda, tepatnya tahun 1933 gedung ini digunakan untuk pertemuan yang dipimpin RM. Ir. Sarsito Mangoenkoesoemo. Pertemuan ini menghasilkan pembentukan Soloche Radio Vereeniging. Kehadiran radio pertama yang digagas oleh pribumi ini menjadi penyiar semangat pergerakan untuk melawan kolonialisme. Selain berfungsi sebagai tempat berkumpul, gedung ini pada masa penjajahan Jepang digunakan sebagai klinik perawatan para tentara yang terluka.
Gedung ini pada 1946 digunakan oleh wartawan Indonesia untuk melaksanakan deklarasi wartawan Indonesia yang menjadi perhimpunan wartawan dengan nama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pelaksanaan dari deklarasi ini diikuti sekitar 50 wartawan Indonesia.
Terjadi perubahan nama dari Gedung ini pada 9 Februari 1978 dalam rangka peringatan 32 tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Perubahan nama gedung ini dari Societeit Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional yang diresmikan oleh Presiden Soeharto. Setelah peresmian ini, gedung Monumen Pers Nasional dikelola Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional di bawah Departemen Penerangan atau yang sekarang dikenal Kementerian Komunikasi dan Informasi.
Gedung Monumen Pers Nasional sendiri dari segi arsitektur memiliki keunikan tersendiri, dimana pada gedung ini terdapat perpaduan dari gaya arsitektur Eropa dan Hindu-Budha. Pada fasad gedung, dapat terlihat ornamen di bagian atas yang mirip stupa dan tembok dari gedung ini terlihat seperti tersusun dari batu andesit. Kedua corak inilah yang menjadikan gedung ini memiliki gaya arsitektur Hindu-Budha. Penggunaan gaya arsitektur Eropa pada Monumen Pers Nasional dapat dilihat pada bentuk jendela, pintu, serta langit-langit yang memiliki ciri khas arsitektur art deco. Pada anak tangga hingga pintu masuk Monumen Pers nasional terdapat empat naga yang memanjang ke depan, keempat naga ini bernama Catur Manggala Kura. Keempat naga ini difungsikan sebagai ornamen pada bagian depan Monumen Pers Nasional. Pada teras gedung terdapat kentongan dengan ukuran besar dengan nama Kyai Swara Gugah.
Keunikan yang disuguhkan dari perpaduan dua gaya arsitektur pada Monumen Pers Nasional ini menjadi daya tarik tersendiri untuk wisatawan. Para wisatawan yang datang tidak hanya dapat menikmati keunikan Monumen Pers Nasional saja, akan tetapi terdapat museum. Kehadiran museum di Monumen Pers Nasional sendiri menyajikan beberapa koleksi benda-benda bersejarah di bidang pers Indonesia. Museum di Monumen Pers Nasional sendiri tidak memasang tarif untuk para wisatawan yang berkunjung.