Pemerintah Kota Surakarta
Semarak Jenang Sala 2018 Nguri-uri Budaya Jawa
  February 18, 2018 10:00

Jenang pada masyarakat Jawa khususnya Solo sudah mengakar sejak zaman Hindu. Tradisi jenang juga ada saat era Walisongo bahkan sampai masa kini. Jenang selalu hadir sebagai simbol ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Dalam semua ritual selamatan masyarakat Jawa khususnya di wilayah Surakarta dan sekitar, makanan khas berupa jenang selalu hadir. Jenang umumnya dibuat dari tepung beras atau tepung ketan lalu dimasak dengan santan dan ditambahkan gula merah atau gula putih, kerap hadir sebagai makanan pelengkap di berbagai acara seperti hajatan pernikahan, selamatan ibu hamil, selamatan bayi yang baru lahir, selamatan orang meninggal dan masih banyak lagi berbagai acara adat maupun keagamaan.

Segala macam acara tersebut tidak pernah lepas dari kehadiran jenang dan makanan ini diyakini muncul dari kreativitas masyarakat setempat. Jenang bukan sekedar makanan khas yang digemari oleh penduduk Jawa. Lebih dari itu, jenang ternyata memiliki filosofis dan simbol-simbol yang diyakini oleh orang Jawa. Selain sebagai rasa syukur kepada-Nya, jenang juga dijadikan simbol doa, persatuan, harapan, dan semangat masyarakat Jawa. Makanan khas itu menjadi simbol doa, harapan, persatuan dan semangat masyarakat Jawa.

Dalam tradisi masyarakat Jawa, jenang bukan sekadar panganan. Posisi jenang sangat dekat dengan perjalanan hidup orang Jawa bahkan sejak mereka masih dalam kandungan, lahir, dan akhirnya meninggal dunia. Jenang panganan yang bahan bakunya berupa tepung beras atau ketan dengan cita rasa manis dan gurih selalu menjadi pelengkap ritual keselamatan bagi orang Jawa. Namun, kini banyak orang Jawa yang tidak mengetahui makna dari jenang, kecuali hanya sebatas sebagai jajanan. Bahkan sebagai panganan, jenang dianggap jajanan kuno, dan dianggap hanya pantas untuk santapan bayi. Jenang dianggap tak ada bedanya dengan bubur.

Untuk mengenalkan kembali jenang sebagai panganan warisan leluhur, sekaligus sebagai salah satu jajanan khas Solo, Festival Jenang diselenggarakan di Kota Solo setiap tahunnya. Festival Jenang pertama digelar tahun 2012, aneka jenang, seperti jenang sumsum, jenang gendul, jenang mutiara dan jenang ketan merah-ketan hitam tersaji dalam kendil yang berjajar di rumah-rumah bambu. Penyaji jenang mengenakan busana tradisional seperti kebaya dan beskap. Untuk penyelenggaraan tahun ini ada yang berbeda, bertepatan dengan HUT Kota Solo yang ke 273 acara Festival Jenang berubah nama menjadi Semarak Jenang Sala.

Festival ini dimulai dengan arak-arakan kirab Semarak Jenang Sala yang dimulai dari Balai Kota Surakarta yang dilakukan Pemkot Surakarta beserta jajarannya menuju Benteng Vastenburg pada pukul 09.45. Dalam kirab tersebut dibarisan depan ada marching band dari Keraton Kasunanan. Sementara Wali Kota Surakarta beserta Wakil Wali Kota Surakarta berjalan di belakang Putera Puteri Solo dan diikuti arakan-arakan 17 macam jenang.

Sementara di lokasi acara nampak 273 stan sudah berjejer rapi di pelataran Benteng Vastenburg Kota Solo. Setiap stan menyediakan 100 buah takir jenang, yang totalnya mencapai 27.300 jenang yang akan dibagikan pada hari ini secara gratis kepada masyarakat. Sebelum ribuan takir jenang dibagikan gratis, Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo secara simbolis melakukan adat membuat jenang. Seperti memeras santan dan menuangkanya ke dalam adonan juga yang lainnya. Setelah prosesi ini selesai dan dengan simbolisasi pemukulan gong kecil, barulah ribuan takir jenang itu dibagikan kepada warga yang sudah menunggu.

Tanpa berlama-lama, warga langsung berebut untuk mengambil jenang yang disediakan. Ketua Panitia Semarak Jenang sekaligus Kepala Dinas Perdagangan Kota Surakarta, Subagiyo mengatakan “Bahwa takir tersebut merupakan simbol sebuah kehidupan. Dari istilah rata sing mikir bahwa di dalam takir itu ada jenang yang terbuat dari berbagai bahan yang disatukan. Jenang itu kan terdiri dari berbagai bahan, dan inilah sebuah gambaran dari kehidupan,” terangnya. Dia juga menambahkan “Semarak Jenang Sala merupakan bentuk nguri-uri budaya Jawa, khususnya Solo. Ini bentuk syukur kami terhadap tuhan semesta alam. Yaitu dengan menampilkan berbagai jenis jenang untuk dibagikan.” imbuhnya.

Berikut adalah 17 macam jenis jenang yang dibagikan beserta filosofinya yang dibacakan oleh Budayawan Surakarta St. Wiyono, S.Kar yakni diantaranya; Jenang Srikolo simbol keberadaan manusia di dunia, Jenang Abang putih mempunyai makna warna merah dan putih merepresentasikan penciptaan/asal-usul manusia laki-laki dan perempuan, Jenang Katul maknanya kita hidup tak bisa berdiri sendiri karena selalu membutuhkan orang lain, Jenang Mrocot maknanya kehadiran untuk mendoakan supaya ibu yang hamil diberikan kelancaran dalam melahirkan, Jenang Lemu maknanya manusia agar tak lemah membangun semangat baru dalam kehidupan, Jenang Puputan maknanya kehadirannya ketika memberi nama kepada bayi setelah lahir, Jenang Timbul mempunyai makna harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan harapannya menjadi kenyataan, Jenang Ngangrang maknanya manusia seharusnya belajar mengontrol emosi kemarahannya  agar kekuatan pada dirinya bisa bermanfaat untuk sesama, Jenang Taming maknanya belajar menjaga kekuatan dengan berdoa kepada Allah dan mengenali serta memahami kelemahan diri sendiri, Jenang Sumsum maknanya pada diri manusia melekat sifat kelemahan dan kekuatan, Jenang Lahan maknanya  agar melepaskan semua nafsu negatif, iri, dengki, sombong dan sebagainya di hadapan Allah, Jenang Grendul maknanya kehidupan itu seperti roda yang berputar, kadang di atas kadang di bawah, Jenang Pati maknanya melebur nafsu dan pasrah kepada Allah, Jenang Koloh maknanya kesempurnaan adalah tujuan hakiki kehidupan manusia, yang sering dilalaikan dalam kesibukan sehari-hari, Jenang Majemukan berarti Indonesia memiki berbagai macam seni budaya, Jenang Saloko maknanya kesucian itu milik Allah. Manusia harus selalu mewaspadai nafsu “aku” pada dirinya, berani mengoreksinya diri sebagai jalan untuk bisa mengenal Allah, Jenang Warno papat maknanya simbul nafsu yang melekat pada diri manusia. Warna Merah simbol amarah. Putih menyimbolkan Muthamainah, kuning artinya aluamah dan hijau maknanya sufiyah (nafsu yang selalu ingin memiliki duniawi).

aosgi
[yarpp]
Pemerintah Kota Surakarta

DISKOMINFO SP

Kompleks Balai Kota Surakarta

Jl. Jend. Sudirman No.2, Kota Surakarta, Jawa Tengah
Kode Pos 57133
(0271) 2931667

Site Statistics

Visits today

36

Visitors today

19

Visits total

425,569

Visitors total

330,802

©️ 2022 Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian Kota Surakarta