Solo atau Surakarta kini telah berkembang pesat menjadi kota yang metropolis, namun tetap mempertahankan kebersahajaannya melalui warisan budaya yang telah melekat erat hingga saat ini. Solo memiliki sejarah panjang yang dimulai dari penemuan manusia purba Homo erectus di Sangiran, Kabupaten Sragen. Selain itu, sebuah penelitian menyebutkan bahwa nama Solo muncul karena Kota Surakarta didirikan di sebuah desa bernama Desa Sala, yang berlokasi di tepi Sungai Solo.

Sejarah mencatat bahwa awalnya Solo dikenal sebagai desa terpencil dan tenang yang berjarak 10 km dari Kartasura sebagai pusat Kerajaan Mataram hingga tahun 1744. Pada masa kepemimpinan Susuhan Mataram Pakubuwono II, Kerajaan Mataram didukung China melakukan perlawanan terhadap Belanda. Namun sayangnya Kartasura malah dikuasai oleh Belanda pada 1745. Sehingga Pakubuwono II terpaksa memindahkan Istana Kerajaan Mataram dari Kartasura ke wilayah tepi Sungai Solo. 

Pada 1757, muncul kerajaan saingan yang didirikan di pusat Solo oleh Mangkunegara I. Inilah sebabnya ada dua keraton yang berdiri megah di Kota Solo sampai sekarang. Untuk menghindari pertempuran di antara kedua kerajaan, para bangsawan akhirnya mencurahkan energinya untuk mengembangkan seni dan budaya. Paviliun gamelan menjadi arena baru persaingan, masing-masing kerajaan berkompetisi menghasilkan budaya kerajaan yang lebih halus dan kondisi ini masih berlanjut sampai sekarang. Oleh sebab itu, hingga kini, kedua keraton masih kokoh berdiri di tengah Kota Solo dan tetap mempertahankan eksistensi budaya Jawa.

Kota Solo yang dari dulu telah menyimpan kekayaan tradisi dan nilai-nilai luhurnya memang tetap eksis hingga kini. Masyarakat dapat melihatnya melalui warga yang tinggal, bahasa, seni, hingga makanan yang tersaji. Keberadaan budaya Jawa secara nyata inilah yang merupakan representasi dari dua bangunan keraton Kasunanan dan Mangkunegaran. Keduanya seolah berdiri sebagai awal dari keberlanjutan Solo sebagai kota yang kaya akan budaya serta tradisi dari dulu hingga kini.