Bagi siapapun yang pernah berkunjung ke Kota Solo, pasti pernah mendengar tentang adanya Stasiun Purwosari. Stasiun yang berdiri di tengah kota dan di pinggir jalan utama Slamet Riyadi Kota Solo ini juga menjadi saksi bisu perkembangan Kota Solo awal abad ke-20. Lantas bagaimana sejarah yang melatarbelakangi berdirinya Stasiun Purwosari?
Menurut catatan sejarahnya, lahan Stasiun Purwosari juga dulunya milik Mangkunegaran yang dihadiahkan kepada Nederlandsch-Indische Maatschappij (NISM). Disebutkan bahwa pelepasan lahan itu merupakan suatu pengorbanan dari Mangkunegara IV yang sangat berarti, karena ini lahan tersebut semula adalah tempat berlatih dan istal kuda Legiun Mangkunegaran. Namun Mangkunegara IV melihat perlunya jalan kereta api bagi kemajuan wilayah Surakarta dan khususnya Praja Mangkunegaran.
Stasiun Purwosari saat itu menjadi stasiun kedua di Solo (setelah stasiun Balapan) yang dibuat oleh Nederlandsch-Indische Maatschappij (NISM) pada akhir abad ke-19. Stasiun ini menjadi perlintasan kereta api dari Semarang-Vorstenlanden, Yogyakarta-Solo-Surabaya, dan sebaliknya yang jalurnya dimiliki oleh staatspoorweg (SS), Boyolali-Solo-Wonogiri yang diprakarsai oleh perusahaan swasta kereta api Solosche Tramweg Maatschappij (STM) pada awal abad ke-20. Serta yang terpenting menjadi terminal trem dalam kota dari arah barat ke timur di kota Solo.
Konstruksi dari Stasiun Purwosari ini terbuat dari besi yang menopang atap dengan penutup seng gelombang. Di bagian tengah terdapat ruang-ruang pelayanan stasiun dan ruang-ruang tunggu dengan peron di kedua sisinya. Seiring perkembangan zaman, Stasiun Purwosari telah mengalami berbagai pengelolaan dan perbaikan. Namun karena pada dasarnya bangunan tersebut merupakan cagar budaya, maka dalam pengelolaan dan perbaikannya tetap mempertahankan konsep yang ada sebelumnya.
Pada saat ini, Stasiun Purwosari masih aktif dan terawat. Keberadaannya yang berada di tengah Kota Solo membuat Stasiun Purwosari ini masih menjadi pusat keberangkatan dan kedatangan para penumpang.