Pemerintah Kota Surakarta
Tradisi Pernikahan Adat Solo : Busana yang Digunakan
  September 27, 2022 12:30

Pernikahan merupakan hal yang sakral untuk dilakukan. Maka, diperlukan persiapan yang matang untuk dapat menyajikan suatu upacara pernikahan, agar sesuai dengan adat dan budaya yang berkembang di masyarakat. Salah satunya yakni busana pernikahan. Kota Solo memiliki ciri khas tersendiri terkait pakaian yang dikenakan saat upacara pernikahan. Busana pengantin Gaya Surakarta, terbagi dalam dua jenis, yaitu busana adat gaya Solo Putri dan gaya Solo Basahan.

Dalam busana pengantin Gaya Solo Putri, mempunyai ragam kebaya kutu baru dan kin. Sementara, untuk pengantin pria, mengenakan jas sikepan dan kain. Kemudian, dalam busana pengantin Gaya Solo Basahan, pengantin akan mengenakan dodot atau kampuh, berupa kain panjang yang dibentuk menyerupai pakaian dengan bantuan jarum dan tali. Pakaian untuk pengantin wanita bagian bahunya terbuka, seperti kemben. Sedangkan, untuk pengantin pria terbuka pada bagian perut ke atas.

Busana pernikahan adat Solo, terdapa berbagai atribut yang berguna sebagai pelengkap. Di antaranya pada atribut busana pernikahan pria ada blangkon, merupakan penutup kepala. Blangkon dibentuk dari lilitan kain batik hingga mirip seperti topi. Menariknya, dalam masyarakat Jawa, blangkon memuat makna filosofis, yaitu berupa pengharapan dan nilai-nilai hidup. Lalu, ada beskap, yang merupakan atasan pada busana. Sejenis jas, namun tidak berkerah lipat. Terdapat kancing yang dikaitkan menyamping.  

Kemudian, untuk busana pernikahan wanita, atasan yang digunakan disebut dengan kebaya. Umumnya, menggunakan kebaya dengan warna gelap yang berbahan beludru. Namun, saat ini telah banyak inovasi yang menyebabkan busana pengantin Gaya Surakarta mendapat pengaruh dari budaya modern. Sehingga, model dan warna kebaya yang digunakan pun lebih beragam.

Di samping itu, kedua mempelai pengantin mengenakan kain batik yang sama. Motif yang digunakan, yakni Sido Mulyo, Sido Asih, dan Sido Mukti. Bagian depannya dibuat wiru atau lipatan-lipatan. Jumlah wiru biasanya ganjil, misalnya 9, 11, maupun 13. Wiru sendiri merupakan akronim dari wiwiren aja nganti kleru, jika diartikan mengandung makna agar diolah sedemikian, supaya menciptakan suasana yang harmonis.

Perkembangan busana pernikahan Gaya Surakarta ini merupakan pengaruh dari budaya keraton. Selanjutnya, di tahun 1921, ketika Raja Hamengku Buwono ke VIII berkuasa, budaya tersebut menembus keluar tembok keraton dan mulai diikuti oleh masyarakat sekitar. Hingga kini, budaya ini masih terus diterapkan dalam upacara pernikahan di Kota Solo. Sebagai generasi penerus, kita harus menjaga budaya ini agar tetap ada dan lestari.

Agnia Primasasti
[yarpp]
Pemerintah Kota Surakarta

DISKOMINFO SP

Kompleks Balai Kota Surakarta

Jl. Jend. Sudirman No.2, Kota Surakarta, Jawa Tengah
Kode Pos 57133
(0271) 2931667

Site Statistics

Visits today

1

Visitors today

1

Visits total

425,504

Visitors total

330,765

©️ 2022 Dinas Komunikasi, Informatika, Statistik dan Persandian Kota Surakarta